Pulau Komodo dan Maria

9:30 AM

Sering kali dunia perfilman Hollywood mengambil plot di pesisir, perkebunan, pertanian atau bahkan peternakan tentang kehidupan masyarakatnya. Membuat yang menonton dimanjakan dengan pemandangan yang elok. Di film-film tersebut, nampaknya mereka yang tidak tinggal di New York, Washington, dan kota-kota besar lainnya dapat hidup dengan rumah dan menjalani hidup normal dan bahagia.

Sungguh berbanding terbalik dengan perfilman Indonesia, saat mereka mengambil shot di daerah timur, di mana memandang dari utara ke selatan adalah sentuhan Illahi yang duhai membuat kita berdzikir, di mana saat memutar badan dari timur ke barat, yang kau lihat hanyalah sebuah decak kekaguman. Tapi, apa yang disorot dari perfilman di timur Indonesia? Sebuah ketidakadilan pembangunan, pendidikan, dan kesejahteraan. Ada sebuah sudut pandang, di mana mereka bahagia menjaga alam kampung halamannya.

Tidak bermaksud untuk mengkritiki kondisi Indonesia, terutama di bagian timur. Hanya ingin menulis sebuah pertemuan dengan adik-adik di Pulau Komodo. Pertemuan kali ini, menghasilkan pemikiran apa yang ada di alinea pertama dan kedua.


Saat itu saya sudah selesai menuntaskan jalur tracking di Pulau Komodo. Tidak berlama-lama istirahat setelah tracking, saya pun bersiap-siap menuju kapal. Di perjalanan, adik-adik penjual cinderamata menghampiri dengan membawa beragam miniatur komodo dan gantungan kuncinya. Sembari mereka mengikuti saya, kami pun berbincang-bincang sederhana.



“Kak, dari mana?”

“Dari Tangerang, ayo Tangerang di mana?”

“Oooh Jakarta ya Kak”

Hmm, saya iyakan, padahal baiknya mungkin dijelaskan ya.

“Kelas berapa dek?”

“Kelas 6 kak, kita lagi libur nih kak disuruh bantu sama mama”



Ohh dik, kalau weekend saja kakak ini tidur-tiduran sambil dihibur drama korea atau novel.

“Ooh di sini sekolahnya dimana? Kiraiin Kakak cuma penangkaran Komodo di sini.”

“Enggak Kak, itu di sana ada kampong, nah rumah kita di sana. Sekolah kita juga di sana.” Adik kelas 6 SD itu menunjuk kampungnya, terlihat dari sebrang saya. Kalau tak salah ingat, namanya Marina. Semoga tidak salah ya. Marina bilang, di antara rumah-rumah itu ada bangunan Sekolah Dasar di sana. Tapi kalau mau lanjut SMP, harus ke Labuan Bajo atau Mataram. 

Menurut kita, khususnya saya, sekolah di usia dini untuk pindah-pindah kota adalah sebuah perjuangan. Bagi sebagian orang, mencari nafkah sedari kecil adalah perjuangan. Tapi bagaimana kalau mereka suka dengan perjuangan mereka? Bagaimana kalau mereka tidak merasa disulitkan untuk membantu orangtuanya mencari nafkah?

Dengan waktu yang singkat, saya melihat tidak ada beban di mata mereka saat menawari orang-orang cinderamata yang mereka jual. Mereka bosan menawarkan ini – itu, bisa saja mereka langsung main di tepi pantai barang sebentar. Karena rumah mereka adalah tempat wisata yang dicintai banyak orang, pastilah mereka juga lebih bersyukur  bisa tinggal di sana.

Ini semua tentang rasa bersyukur. Apa yang kita lihat, belum tentu senestapa itu di pedalaman sana. Mereka bahagia dengan kekayaan alam yang mereka punya. Definisi cukup bagi saya belum tentu sama dengan mereka. Begitu pun sebaliknya.



“Dek, Kakak ke kapal dulu yaa”

“Kak, itu roti yaa?”

“Iya, mau?”

“Mauuuu”

Marina yang mewakili teman-temannya kalau mereka mau roti yang ada di kapal. Dengan selai coklatnya saya berikan ke Marina.

“Jangan berebut….” Belum selesai ternyata mereka sudah saling rebut.

Roti dengan nama yang tawar, kini bisa memberi rasa antara saya dan mereka. Setidaknya bagi saya.

Kini, Pulau Komodo yang ingin saya datangi sedari usia 13 tahun bukan lagi kenangan tentang betapa hebatnya Komodo yang masih bisa bertahan, betapa saya bisa melihat hewan purba di habitatnya, tapi betapa pulau dan warga ini memiliki sebuah 'chemistry'-nya sendiri.










You Might Also Like

0 komentar