Ijen dan Penambang Belerangnya
9:42 PM
Apakah ada hal lain selain pergi
menjauhi kota yang terlampau banyak kehidupan duniawi untuk merehatkan rohani?
Saat itu saya dan teman-teman sedang menjalani proses tugas akhir tahunan
sebagai mahasiswa. Tak peduli tuntas atau belumnya tugas tersebut, kami
memutuskan untuk istirahat sejenak dan Banyuwangi menjadi pilihan untuk
bernostalgia merasakan hembusan dingin semilir pepohonan.
Melintasi berbagai kota dan
kabupaten, membuat kami sebagai penumpang tak ayalnya berdosa kepada supir yang
notabene adalah teman kami karena ditinggal tidur. Terbangun lalu terlelap
kembali. Setelah 9 jam perjalanan dengan mobil kapasitas 7 orang yang
dipaksakan diisi oleh 9 orang kami tiba di jalan kelak-kelok. Sudah tidak ada
lagi lampu-lampu rumah yang menyinari jalan, jangan berharap ada penerang jalan,
yang ada hanya sinar dari mobil kami. Jalan yang berlika-liku berpagarkan hutan
dengan pohon-pohon yang rindang, tak jarang pula kami melewati kebun kopi yang
merupakan jalan menuju Patulding, gerbang utama menuju Cagar Alam Kawah Ijen.
Kami tiba tidak sesuai dengan
rencana, karena sebelum sampai di Patulding kami sempat mengalami musibah.
Tidak sengaja mobil kami menabrak pengendara bermotor di lampu merah. Bertanggung
jawab adalah satu-satunya pilihan.
Matahari sudah muncul di permukaan, tak apalah tidak melihat blue fire
kebanggaannya Ijen ini.
Berhubung hari sudah pagi, kami
banyak berbarengan menaiki Ijen dengan para bapak penambang belerang. Ada yang
berbeda dengan bapak para penambang saat saya tiba hari itu. Sebelum perjalanan
ini, saya sudah pernah ditusuk dinginnya Ijen dan melihat aksi penambang
memikul bebannya. Para penambang belerang ini mengangkut hasil tambangannya di
pundak mereka. Haduh, kami saja yang hanya bawa ransel masih suka berhenti di
tengah jalan untuk menarik dan mengatur nafas, hebat sekali bukan para bapak
ini? Lalu apa yang berbeda dengan para bapak tersebut? Kini mereka menggunakan
gerobak dengan rem di tangan untuk membawa belerang tersebut. Senang rasanya
melihat para bapak-bapak tak usah lagi mengandalkan pundaknya, walaupun masih
ada beberapa penambang belerang yang tidak menggunakan gerobak. Saya yakin,
anak atau istrinya di rumah pasti siap memijat pundak pemilik tulang punggung
keluarganya.
Lalu di mulailah perjalanan kami
untuk melihat kawah dari atas puncak Ijen. Setelah beberapa menit berjalan
dengan medan yang terus naik, tak memberikan bonus medan datar kami memutuskan istirahat sejenak. Tak
lama kami beristirahat, ada bapak penambang belerang datang pula berteduh di
bawah pohon yang menampis terik matahari pagi. Enatah apa awal topiknya,
tiba-tiba mengalir saja percakapan mengenai tambang belerang di cagar alam ini.
“Sudah lama pak pakai gerobak
untuk mengangkut belerang?” Saya bertanya karena rasa penasaran sejak kapan
gerobak ini dipakai dan diberdayakan.
“Sudah mbak, sudah dari tahun
lalu. Enak sekarang mbak tinggal main rem aja, hehe”. Wah senang juga ya
mendengar bapak merasakan kemudahan untuk menambang.
“Buat sendiri ya pak? Kenapa ga
dari dulu aja ya pak.”
“Bukan mbak, ini dari orang
Perancis….”
“Orang Perancis bantu bapak bikin
gerobak atau gimana pak?”
“Mereka kasih bantuan
gerobak-gerobak yang ada di sini lewat Bupati mbak. Soalnya mereka kasihan
melihat penambang yang memikul berat di pundak”.
Haduh tersentil lagi saya.
Berkali-kali tersentil oleh percakapan bapak ini. Apa yang saya lakukan saat
pertama kali berkunjung ke Ijen dan melihat para penambang? Hanya terbesit rasa
iba karena beratnya beban yang dibawa dengan medan yang cukup terjal untuk
membawa semua itu. Hanya ada rasa itu. Saya malu sebagai mahasiswa saat itu,
yang katanya dielu-elukan sebagai agen perubahan. Saya mungkin salah satu dari
sekian banyak orang yang hanya berpikir ‘kasihan’, ‘duh pasti berat’, dan
lainnya. Kenapa hanya ada rasa seperti itu lalu tidak dilanjutkan dengan sebuah
solusi seperti orang-orang Perancis tersebut berikan.
“Harga belerangnya berapa pak
kalau dijual?” tanya seorang teman saya.
“Rp 2000 mas perkilo, biasanya
bawa dari atas 50 kilo. Kalau lagi butuh uang, ya naik ke atas dua kali berarti
mas.”
Apa? Hanya dua ribu rupiah
perkilo? Itu berarti sekali bawa hasil tambang hanya dapat serratus ribu rupiah
dengan jarak yang aduhai jauhnya. Belum selesai beradu silat di dalam hati,
bapak melanjutkan lagi pembicaraannya.
“Demi anak-istri pasti kuat mas”.
Ternyata ada motivasi yang
mendalam mengapa para bapak ini kuat. Selain memang sudah terbiasa, mereka juga
memiliki dorongan untuk membahagiakan keluarganya. Pasti ketika di malam hari,
istri bapak memijat pundak bapak ya.
“Mbak kalau capek bisa loh
gerobak ini jadi ojek, jadi nanti saya dorong sampai atas”. Tawar bapak
penambang belerang.
Lalu apakah saya naik gerobak?
Iya! Tapi hanya untuk mencoba saja dan teman saya juga ingin mencoba jadi ‘ojek
gerobak’ dadakan. Setelah selesai beristirahat, kami kembalikan gerobakan
tersebut pada bapak.
“Matursuwun nggeh pak”
“Nggeh.. nggeh.”
Sembari jalan saya menyadari
bahwa gerobak tersebut adalah gerobak multi-fungsi. Selain dapat menampung
hasil tambang, bisa juga untuk mengangkut penumpang. Bapak penambang pun akan
memilki tambahan pemasukan.
Selama melihat gerobak-gerobak
tersebut di pendakian, ada rasa bersalah karena geroba-gerobak tersebut bukan
lahir dari ide anak bangsa. Gerobak dengan rem di tangan adalah sebuah saranan
yang tidak asing di mata kita. Memang yang dibutuhkan bukan hanya memiliki ilmu
dengan sederet gelar tinggi, tapi memiliki ilmu dan kepekaan sosial tinggilah yang dapat membuat ilmu kita
bermanfaat.
0 komentar